Di bulan-bulan terakhir Perang Dunia II, Nazi Jerman menguji coba pesawat tempur eksperimental yang lebih mirip kapal luar angkasa daripada pesawat terbang. Baru sekarang kita menyadari betapa luar biasanya pesawat itu. BBC Future mengulas Horten Ho 229, salah satu rancangan paling futuristik di dunia penerbangan.
Pada Desember tahun lalu, pembuat pesawat terbang Amerika Serikat Northrop Grumman mengungkap desain revolusioner pesawat tempur masa depan. Pesawat tersebut dapat, secara teori, melintasi medan perang di abad yang akan datang.
Konsep mereka tampak lebih mirip piring terbang daripada pesawat tempur. Para ahli penerbangan menyebutnya ‘flying wing’ (sayap terbang), yakni desain yang menyingkirkan sirip ekor tradisional di bagian belakang badan pesawat. Rancangan ini membantu mengurangi ukuran pesawat serta menciptakan bentuk yang lebih mulus, sehingga memperkecil kemungkinan dideteksi sinyal radar.
Desain tersebut terlihat seperti pesawat tempur yang sangat futuristik, namun asal-usulnya lebih kuno dari yang Anda pikir: sebuah desain inovatif jet tempur yang dibangun dan diterbangkan di Nazi Jerman dalam hari-hari terakhir Perang Dunia II.
Pesawat bernama Horten Ho 229 itu mungkin sekadar catatan kaki di dunia penerbangan, namun sangat melampaui zamannya sehingga sistem aerodinamiknya belum dimengerti sepenuhnya sampai sekarang. Bahkan, seorang ilmuwan di Nasa masih berupaya mencari tahu bagaimana kreator pesawat itu mengatasi berbagai masalah aerodinamik yang seharusnya membuatnya tidak bisa terbang.
Desain sayap terbang jarang kita lihat di langit karena sulit membuatnya berfungsi. Dengan menyingkirkan ekor – yang membantu menstabilkan pesawat dan mencegahnya oleng – pesawat jauh lebih sulit dikendalikan. Jadi untuk apa membangun pesawat yang susah diterbangkan?
Jika sayap terbang berhasil, ada beberapa keuntungan. Pesawat menjadi sulit dideteksi radar, antara lain karena tidak memiliki bagian sirip ekor yang memantulkan gelombang radar. Bentuk yang mulus juga memungkinkan pesawat jadi lebih ringan dan hemat bahan bakar, serta terbang lebih cepat dari pesawat berbentuk konvensional dengan mesin yang sama.
Semua itu tampak bagus dalam rencana – namun mewujudkannya di dunia nyata jauh lebih sulit. Sayap terbang telah membuat perancang pesawat terbang sakit kepala sejak zaman Wright Bersaudara. Hal ini membuat pencapaian Horten bersaudara dari Jerman begitu mengagumkan.
Horten bersaudara – Walter dan Reimar – mulai merancang pesawat di awal tahun 1930-an. Ketika itu, Jerman secara resmi dilarang memiliki angkatan udara akibat pembatasan dari perjanjian Versailles setelah Perang Dunia 1. Dua bersaudara itu bergabung dengan klub olahraga udara, yang dibentuk sebagai cara menghindari pembatasan, dan merupakan cikal bakal dari apa yang kelak menjadi angkatan udara Jerman, Luftwaffe.
Banyak juru terbang amatir yang di kemudian hari menjadi pilot Luftwaffe mencoba untuk pertama kalinya menerbangkan berbagai pesawat layang dan ‘pesawat layar’, yakni pesawat tanpa mesin yang mengajari mereka dasar-dasar penerbangan. Sambil belajar terbang, Horten bersaudara merancang pesawat – mereka mengubah ruang santai keluarga menjadi bengkel, menurut situs penerbangan Aerostories.
Pesawat Tempur baru
Horten bersaudara mengembangkan sayap terbang mereka secara bertahap dengan hasil yang efektif. Upaya mereka berujung pada pesawat layang Horten Ho IV, yang menempatkan pilot dalam kondisi tiarap, sehingga kanopi kokpit tidak menonjol jauh dari badan pesawat dan menciptakan beban aerodinamis.
Ketika pesawat layang Ho IV diuji coba, Walter Horten telah menjadi pilot pesawat tempur Luftwaffe selama Pertempuran Britania. Russ Lee, kurator museum Smithsonian Air and Space di Washington DC, menyebut masa itu merupakan titik balik. “Jerman kalah dalam Pertempuran Britania, dan Walter sadar bahwa Jerman butuh jenis baru pesawat tempur. Dan pesawat sayap terbang bisa jadi petempur yang bagus.”
Pada saat yang sama, pimpinan Luftwaffe, Hermann Gorig, meminta desain untuk proyek yang dinamakan ‘3×1000’ – pesawat yang dapat membawa 1000kg muatan bom sejauh 1600 kilometer dengan kecepatan 1000km/jam. Permintaan itu membuat Horten bersaudara mengembangkan apa yang akhirnya menjadi purwarupa Ho 229.
Satu dari tiga purwarupa adalah pesawat layang tanpa mesin, dibangun untuk menguji desain aerodinamis. Purwarupa ke dua dilengkapi mesin jet, dan sukses terbang pada 2 Februari 1945, meski jatuh karena kegagalan mesin saat uji coba beberapa pekan kemudian. Namun uji coba itu menunjukkan, kata Lee, bahwa pesawat dapat lepas landas, meluncur, dan mendarat – bahwa rancangan dasar pesawat cukup baik.
Lee mengenal sejarah Ho 229 dengan baik. Dia bertanggung jawab atas pelestarian dan pemugaran purwarupa ke tiga Ho 229 yang setengah komplet, disebut Ho 229 V3. Purwarupa itu dibawa ke AS setelah Perang Dunia II. Dalam perjalanannya, Ho 229 sempat singgah di fasilitas pengujian di Farnborough, dekat London, Inggris.
“’Revolusioner’ adalah sebutan yang pantas bagi Ho 229,” kata Lee. “Horten bersaudara lebih maju di bidang ini dari pada siapa pun di dunia.”
Northrop B-2, pesawat di garis terdepan penangkis nuklir AS, sekilas tampak seperti turunan dari desain jenius Horten bersaudara. Begitu mirip, sampai sejumlah pengamat menyebut Ho 229 sebagai “pesawat siluman pengebom pertama” – meski tugasnya ialah menembak jatuh armada pengebom Sekutu yang menyerang pusat industri dan kota di Jerman.
“Untuk menerbangkan pesawat ini saja, Anda harus membuat sayapnya berfungsi dengan baik, dan berakhir dengan pesawat yang berfungsi sebaik pesawat konvensional dengan ekor.”
Di samping sering oleng, pesawat tanpa ekor bisa menjadi benar-benar tak bisa dikendalikan ketika mesin mati. “Salah satu hal hebat dari pesawat ini adalah kestabilannya saat terbang. Cara membuat pesawat tanpa ekor dapat terbang dalam kondisi mogok sangat sulit, dan semua pesawat harus mampu melakukan itu,” kata Lee.
Horten bersaudara dapat menjaga pesawat mereka tetap stabil dengan merancang sayap yang panjang dan langsing. Desain ini menyebarkan berat pesawat ke area permukaan yang lebih luas, dan juga mengurangi proporsi udara yang menciptakan vorteks – pusaran angin kecil yang menjadi beban sehingga memperlambat pesawat – di sekitar sayap.